Saturday, May 15, 2010

ISLAM MENDIDIK UMAT BERPOLITIK

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh,


Adakah landasan syar’i dari haramnya berpolitik?

Mungkin titik pangkalnya adalah dalam batasan istilah politik itu sendiri. Di mana sebagian orang memandang politik dalam arti yang terlalu sempit serta cenderung menampilkan politik dalam wajah negatifnya. Seperti keculasan, penindasan, perebutan kekuasaan, pembunuhan, perang dan ceceran darah.

Politik dalam arti sempit dan wajah negatif ini seringkali muncul menjadi icon yang mewakili pengertian kata istilah politik. Padahal ini hanyalah sebuah aliran dan pemahaman subjektif dari Machiavelli yang termasyhur dengan nasihatnya, bahwa seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan penggunaan kekejaman penggunaan kekuatan.

Tentu saja politik dalam konsep si Machivelli itu bukan sekedar diharamkan dalam syariat Islam, tetapi juga dikutuk. Bahkan turunnya syariat Islam itu salah satu perannya untuk membasmi konsep politik si terkutuk dariItalia itu.

Politik dalam pengertian si pembuat onar ini juga dikutuk oleh semua orang dan dianggap selaku bajingan tak bermoral. Hanya para bajingan yang tak bermoral saja yang memuji konsepnya itu. Para diktator dunia seperti Hitler, Musolini, Lenin, Stalin, Bush, Blair dan orang-orang sejenisnya, bisa dimasukkan dalam kelompok para pemuja ide-ide syetan muntahan dari mulut Machiavelli.

Para Nabi dan Shahabat Adalah Politikus yang Benar

Namun kalau kita kembalikan pengertian politik dalam arti luas dan positif, di mana politik pada dasarnya adalah sebuah sistem untuk mengatur masyarakat atau negara dengan tujuan demi kemashlahatan umat manusia, tentu saja politik itu mulia.

Bahkan sejak masa awal manusia diturunkan ke muka bumi dengan dikawal oleh para nabi dan rasul, tugas utama syariah adalah mengatur kehidupan masyarakat dan negara. Dan itu adalah politik. Tapi bukan versi Machiavelli, melainkan versi langit alias versi syariah.

Maka kita boleh dikatakan bahwa menjalankan politik yang benar itu bukan hanya boleh, tetapi wajib bahkan menjadi inti tujuan risalah. Untuk mengatur politik-lah para nabi dan rasul diutus ke muka bumi, selain mengajarkan ritual peribadatan.

hadith Nabi sallallaahu ‘alayhi wa sallam:

“Apabila tiga orang bermusafir bersama, hendaklah dilantik salah seorang daripada mereka menjadi ketua” [riwayat Abu Dawud, daripada Abu Said al-Khudri radhiyallaahu 'anhu]


Begitulah cara Islam mengajar dan mendidik penganutnya hidup bertertib lagi sistematik. Soal keluar bermusafir itu mungkin sekadar rutin biasa yang diulang-ulang dari semasa ke semasa. Tetapi di dalam rutin itulah diselitkan unsur ketertiban hidup lantas salah seorang harus mengambil tanggungjawab menjadi ketua.

Ketua dalam erti kita mengambil tanggungjawab terhadap kebajikan dua rakannya.

Ketua yang membantu membuat keputusan-keputusan biar sekecil mana pun persoalannya.

Ketertiban ini diterapkan bermula daripada solat berjemaah hinggalah kepada bermusafir secara berjemaah. Kehidupan di dalam solat dan di luar solat, Muslim diajar agar duduk di dalam tatacara kehidupan yang terpimpin. Ada yang memimpin, ada yang dipimpin.

Latar belakang kehidupan yang sebegini, menjadi penjelasan yang paling terang lagi rasional mengapa para sahabat radhiyallaahu ‘anhum tidak bertangguh berkumpul di Tsaqifah Bani Sa’idah untuk mencari pemimpin menggantikan kekosongan posisi itu yang berlaku akibat kewafatan Rasulullah sallallaahu ‘alayhi wa sallam, biar pun jasab baginda masih belum lagi dikebumikan.

Tidak harus Muslim hidup tanpa pemimpin dan kepimpinan.

Semua ini adalah asas kepada apa yang kemudiannya dinamakan sebagai POLITIK.

Politik yang didefinisikan dengan sebagai Hiraasah al-Deen wa Siyaasah al-Dunya bihi (memelihara agama dan mengurus tadbirkan dunia dengan agama itu) di dalam kitab al-Ahkaam al-Sulthaniyyah adalah peraturan Allah kepada tamadun manusia. Kehidupan berperaturan, terpelihara di antara peranan dan hak masing-masing, adalah kehidupan yang mengangkat darjat manusia sebagai makhluk penghulu yang tinggi.

Inilah asas politik.

Mendidik manusia hidup berperaturan.

Mencegah manusia daripada kehidupan anarki.

No comments:

Post a Comment